Pernah suatu ketika, Lukmanul Hakim mengajak anaknya berjalan ke pasar. Beliau mengenderai seekor keldai sementara anaknya berjalan kaki menuntun keldai tersebut. Ketika melewati suatu tempat, ia mendengar pembicaraan orang: “Lihat orang tua itu, benar-benar tidak memiliki rasa kasih sayang, anaknya yang kecil dibiarkan berjalan kaki sedangkan dia bersenang-senang menunggang keldai.”
“Wahai anakku, dengarkah engkau apa yang mereka perkatakan itu?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya. “Dengar ayah,” jawab anaknya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sekarang engkau naiklah ke atas keldai ini, biar ayah yang menuntunnya,” katanya sambil mengangkat anaknya ke atas keldai, lalu mereka meneruskan perjalanan.
Tidak berapa lama kemudian ketika melewati sekelompok orang, “Lihatlah betapa anak yang tidak pandai mengenang budi ayahnya yang sudah tua, disuruhnya ayahnya menuntun keldai sedangkan dia yang masih muda menunggangnya, sungguh tidak patut,” kata orang-orang tersebut.
“Dengarkah engkau apa yang mereka perkatakan?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya. Anaknya mengiyakan pertanyaannya itu. “Sekarang engkau turun dari keldai ini dan kita sama-sama berjalan kaki,” kata Lukmanul Hakim. Anaknya segera turun dari keldai lalu berjalan bersama beriringan dengan ayahnya menuntun keldai.
Sejurus kemudian mereka bertemu pula dengan sekelompok orang lain. “Alangkah bodohnya orang yang menarik keldai itu. Keldai untuk dikenderai dan dibebani dengan barang-barang, bukan untuk dituntun seperti lembu dan kambing,” kata mereka.
“Dengarkah engkau apa kata mereka?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya lagi. “Dengar, ayah,” jawab anaknya. Lukmanul Hakim berkata: “Kalau begitu marilah kita berdua naik ke atas punggung keldai ini.”
Tidak berapa lama setelah itu mereka mendengar sekelompok orang yang lain yang mereka lewati “Sungguh tidak bertimbang rasa mereka ini, keldai yang kecil ditunggangi berdua!” kata mereka.
Lukmanul Hakim lalu bertanya kepada anaknya, “Apakah engkau dengar apa yang mereka katakan?” Jawab anaknya: “Ya ayah, saya dengar.” “Kalau begitu marilah kita pikul keldai ini,” kata Lukmanul Hakim.
Dengan bersusah payah mengikat keempat-empat kakinya, akhirnya mereka mampu mengangkat keldai itu. Dan dalam keadaan demikian itu mereka mulai berjalan dengan beban memikul seekor keldai.
Ketika sejumlah orang melihat mereka berdua memikul seekor keldai, mereka ketawa terbahak-bahak. “Ha! Ha! Ha! Lihatlah orang gila memikul keldai!”
“Dengarkah engkau apa yang mereka katakan?” dia bertanya kepada anaknya lagi. “Dengar ayah,” jawab anaknya. Mereka lalu meletakkan keldai itu ke tanah.
Lukmanul Hakim pun kemudian menjelaskan hikmah di sebalik peristiwa tadi: “Anakku, begitulah sifat manusia. WALAU APAPUN YANG ENGKAU LAKUKAN, ENGKAU TAK AKAN TERLEPAS DARI PERHATIAN DAN PANDANGAN MEREKA. Tidak menjadi soal apakah tanggapan dan sikap mereka benar atau salah, mereka tetap akan mengatakannya.”
“Ingatlah anakku BILA ENGKAU TELAH BERTEMU KEBENARAN, JANGANLAH ENGKAU BERUBAH HATI HANYA KERANA MENDENGAR KATA-KATA ORANG LAIN. YAKINLAH PADA DIRI SENDIRI DAN GANTUNGKAN HARAPANMU KEPADA ALLAH.”
Firman Allah SWT:
"Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan." (QS Ali Imran: 186)
Lukmanul Hakim juga pernah berwasiat kepada anaknya sebelum beliau meninggalkan dunia yang fana ini. “Wahai anakku, janganlah engkau makan kecuali makanan yang sedap sahaja, perbanyakkanlah kahwin serta bangunkan rumah di seluruh pelosok bumi ini.” Anaknya seolah-olah tidak percaya dengan wasiat ayahnya itu. Tetapi mungkin juga ada sesuatu di balik kata-kata itu, fikirnya.
Setelah ayahnya selesai dikebumikan, dia bertemu dengan seorang teman dekat ayahnya, lalu meminta penjelasan tentang kata-kata wasiat ayahnya itu.
“Ayahmu memang benar,” kata teman ayahnya. Dia semakin bingung dengan jawapan itu lalu bertanya, ”Apakah maksud pakcik?” “Wasiat ayahmu yang pertama ertinya janganlah engkau makan kecuali apabila telah benar-benar lapar, kerana apabila engkau sudah terlalu lapar engkau akan merasa makanan yang engkau makan itu begitu enak, lazat dan engkau akan bersyukur dengannya.”
“Tentang wasiat ayahmu yang kedua, hendaklah kamu selalu berkelana, kerana apabila engkau bertemu lagi dengan isterimu setelah lama terpisah, engkau akan merasa seperti baru kahwin lagi."
"Sedangkan wasiatnya yang ketiga, yang menyuruh engkau membangunkan sebanyak-banyaknya rumah ertinya, carilah sahabat sebanyak mungkin. Apabila engkau telah bersahabat dengan seseorang maka rumahnya akan menjadi seperti rumahmu sendiri dan rumahmu juga sudah seperti rumahnya.”
Setelah mendengar penjelasan itu barulah dia faham maksud yang sebenarnya dari kata-kata ayahnya yang pada mulanya dianggap aneh itu.
Wallahua'lam... ::